Tradisi memumikan jasad manusia yang telah meninggal bukan hanya terkenal di Mesir, tapi juga hidup dalam kebudayaan Nusantara, khususnya di Lembah Baliem, Papua. Di daerah ini, suku Dani dikenal sebagai pelaku tradisi yang unik dan penuh makna tersebut.
Salah satu peninggalan paling menonjol adalah mumi seorang panglima perang suku Dani berusia lebih dari 370 tahun yang masih terawat di desa Jiwika, distrik Kurulu, Wamena. Tubuh kering duduk dengan kaki terlipat, mengenakan pakaian khas pria Papua berupa koteka serta aksesoris tradisional, menghadirkan suasana sakral dan mistis yang melekat dalam budaya suku Dani.
Mumi ini bukan sekadar artefak, melainkan simbol penghormatan dan peringatan bagi keturunan serta komunitas suku Dani. Tradisi memumikan jasad seperti ini menggambarkan kearifan lokal suku Dani dan kekayaan budaya Lembah Baliem yang terus memperkaya khazanah budaya Indonesia.
Memumikan Jasad dalam Tradisi Suku Dani
Salah satu mumi terkenal di Lembah Baliem adalah jasad Wimotok Mabel, seorang panglima perang suku Dani yang julukannya berarti “perang terus”. Sepanjang hidupnya, Wimotok dikenal gigih berperang dan menjadi tokoh yang dihormati. Namun, saat usianya menua dan penyakit menggerogoti tubuhnya, ia memberikan pesan khusus kepada masyarakatnya.

Berbeda dari tradisi pembakaran mayat yang biasa dilakukan suku Dani, Wimotok meminta agar jasadnya tidak dibakar, melainkan dimumikan. Permintaan ini memiliki makna mendalam: agar jasadnya menjadi peringatan abadi yang membawa kesejahteraan bagi seluruh keturunannya.
Proses pemumian jasad dalam tradisi suku Dani bukanlah hal yang sederhana dan memakan waktu sekitar lima tahun. Jasad Wimotok diposisikan duduk dengan kaki terlipat, mengenakan pakaian kebesaran khas suku Dani, lengkap dengan koteka dan aksesori perang.
Selanjutnya, jasad tersebut diasapi di depan api unggun selama satu bulan di dalam sebuah Honai Pilamo, rumah khusus kaum pria. Setelah proses pengasapan selesai, jasad dibungkus dengan daun pisang yang kemudian mengeras menjadi mumi yang awet.
Perawatan mumi dilakukan secara rutin oleh kaum pria yang melumuri jasad dengan minyak babi dan menyimpannya setiap malam di depan api unggun. Tradisi ini membantu mencegah kerusakan oleh rayap dan menjaga mumi tetap awet.
Bagi wisatawan yang ingin menyaksikan mumi ini, desa Jiwika di distrik Kurulu dapat ditempuh sekitar 30 menit berkendara dari kota Wamena. Meskipun jalan menuju desa relatif sudah baik, untuk mengeluarkan mumi biasanya warga desa mengenakan biaya sekitar Rp300.000, harga yang dianggap sepadan dengan pengalaman langka ini.
Keberadaan mumi seperti yang dimiliki suku Dani merupakan bagian penting dari kekayaan budaya Lembah Baliem dan Indonesia secara keseluruhan. Tradisi ini menjadi cermin kearifan lokal dan penghormatan terhadap leluhur yang patut dilestarikan.
Tradisi Mumi Suku Dani di Lembah Baliem
Tradisi pemumian jasad yang dijalankan oleh suku Dani di Lembah Baliem adalah contoh nyata dari kekayaan budaya yang sarat makna dan kearifan lokal. Proses yang panjang dan penuh ritual ini tidak hanya sekadar menjaga jasad agar tetap utuh, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan mendalam kepada leluhur dan simbol keberlanjutan komunitas.

Namun, seiring perkembangan zaman dan masuknya modernisasi, tradisi ini menghadapi tantangan besar. Generasi muda mulai bergeser minat dan cara pandang terhadap ritual adat, sementara aspek wisatawan yang datang untuk melihat mumi turut mengubah dinamika pelestarian budaya ini.
Meski begitu, keberadaan mumi di desa Jiwika dan beberapa lokasi lain di Lembah Baliem tetap menjadi sumber kebanggaan dan warisan tak ternilai bagi budaya Lembah Baliem. Tradisi ini mengajarkan kita akan pentingnya menjaga akar budaya, menghormati sejarah, dan memelihara hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Melalui tradisi unik ini, suku Dani mengingatkan dunia bahwa kearifan lokal bukan hanya cerita masa lalu, tapi kekuatan hidup yang terus relevan hingga saat ini dan masa depan.
Simak Juga : Destinasi Sejarah Paling Berkesan di Indonesia
Tradisi Pemumian Suku Dani
“Tradisi memumikan jasad yang dijalankan suku Dani merupakan warisan budaya yang sangat berharga, yang mencerminkan hubungan mendalam antara manusia dan alam di Lembah Baliem,” kata Dr. Jonathan Wenda, antropolog dari Universitas Papua.

Menurut Ibu Maya Latuconsina, pelestari budaya Papua, “Meski tradisi ini kini menghadapi tantangan modernisasi, nilai dan makna yang terkandung di dalamnya tetap relevan sebagai simbol penghormatan terhadap leluhur dan identitas suku Dani.”
Pernyataan ini menegaskan pentingnya pelestarian tradisi unik ini sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Untuk tulisan lain seputar seni budaya indonesia dan kehidupan kreatif, kamu bisa menjelajah dfranceinc.com, rumah dari blog d’art life.