Manokwari, sebuah kabupaten di Papua Barat, dikenal bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena tradisi unik yang dijaga oleh masyarakatnya, khususnya di Desa Bakaro. Setiap pagi dan sore, penduduk desa memiliki kebiasaan istimewa yang disebut tradisi pemanggilan ikan.
Tradisi ini bukan sekadar aktivitas memancing biasa, melainkan sebuah ritual yang menghubungkan masyarakat dengan alam dan kehidupan laut yang menjadi sumber penghidupan mereka. Melalui suara peluit atau terompet kerang dan taburan makanan alami seperti sarang rayap dan semut, ikan-ikan di laut seolah tahu waktu untuk datang dan berkumpul di tepi pantai.
Kebiasaan ini mencerminkan kearifan lokal yang dalam, di mana manusia dan alam hidup berdampingan secara harmonis. Lebih dari sekadar memberi makan ikan, tradisi ini juga menjaga keseimbangan ekosistem laut dan menunjukkan bagaimana budaya Manokwari tetap lestari melalui cara-cara yang sederhana namun penuh makna.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri lebih dalam tentang bagaimana tradisi pemanggilan ikan dijalankan di Manokwari, maknanya bagi masyarakat setempat, dan bagaimana budaya Manokwari tetap hidup dan berkembang hingga kini.
Tradisi Pemanggilan Ikan di Desa Bakaro Manokwari
Di pesisir utara Manokwari, tepatnya di Desa Bakaro, masyarakat menjalankan tradisi pemanggilan ikan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini bukan hanya sebuah kebiasaan, melainkan bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang menunjukkan kedekatan dan rasa hormat mereka terhadap alam.
Setiap pagi dan sore hari, saat pantai sedang surut, penduduk desa, baik dewasa maupun anak-anak, berkumpul di tepi laut dengan membawa alat-alat yang mampu mengeluarkan bunyi khas, seperti peluit atau terompet dari kerang. Suara-suara ini menjadi sinyal pemanggilan ikan yang hidup bebas di lautan lepas.

Uniknya, makanan yang digunakan untuk menarik ikan pun bukan berupa pakan ikan biasa, melainkan bahan alami yang mudah ditemukan di hutan sekitar, seperti sarang rayap dan sarang semut. Penduduk kemudian menaburkan makanan ini ke laut, sambil menepuk permukaan air untuk mengundang ikan-ikan berkumpul.
Reaksi ikan terhadap pemanggilan ini bervariasi; terkadang ikan datang dengan cepat dan melimpah, namun kadang membutuhkan waktu lebih lama tergantung kondisi ombak dan cuaca. Saat ikan mulai makan di tepi pantai, suasana menjadi riang dan penuh kehangatan karena penduduk merasa berhasil menjaga keseimbangan antara manusia dan alam laut.
Sejarah tradisi ini banyak dikaitkan dengan sosok Lukas Awiman Barayap, yang sejak tahun 1995 mengabdikan hidupnya untuk melestarikan laut dan tradisi pemanggilan ikan. Lukas dikenal sebagai “sang pemanggil ikan” dan bahkan mendapat penghargaan Kalpataru pada 2019 untuk kategori Perintis Lingkungan.
Awalnya, Lukas menggunakan cara memukulkan batu ke karang sebagai tanda memanggil ikan, namun seiring bertambah usia, ia beralih menggunakan peluit yang lebih praktis dan efektif. Metode ini kemudian diikuti oleh warga desa lain dan menjadi bagian integral dari budaya Manokwari yang unik.
Beberapa jenis ikan yang biasa datang karena panggilan ini antara lain ikan bubara, kakatua, belanak, kapas, dan ikan badut. Menariknya, meskipun tujuan awalnya untuk menangkap ikan, Lukas dan masyarakat desa Bakaro menegaskan bahwa ikan-ikan yang dipanggil diberi makan sampai kenyang dan dibiarkan kembali ke laut, menjaga keberlangsungan ekosistem.
Disamping itu, sepertinya kamu juga harus tau soal memancing di sungai adalah tradisi.

Tradisi pemanggilan ikan ini kini juga menjadi daya tarik wisata yang menarik minat turis lokal dan mancanegara. Meski begitu, warga desa tidak memungut biaya untuk menyaksikan prosesi ini, melainkan melihatnya sebagai wujud rasa syukur dan penghormatan terhadap alam yang melimpah.
Melalui tradisi ini, masyarakat Desa Bakaro tidak hanya melestarikan budaya Manokwari, tapi juga memberikan inspirasi bagi dunia untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam secara berkelanjutan.
Artikel Menarik : Mengenal Penangkapan Ikan Tradisional di Indonesia
Tradisi Pemanggilan Ikan dalam Budaya Manokwari
Tradisi pemanggilan ikan yang dijalankan oleh masyarakat Desa Bakaro di Manokwari bukan hanya sekadar ritual atau cara bertahan hidup, tetapi juga merupakan manifestasi nyata dari kearifan lokal yang sangat menghargai alam dan keberlanjutan. Melalui interaksi harmonis ini, terlihat jelas bagaimana budaya Manokwari memegang teguh prinsip saling menjaga antara manusia dan lingkungan laut.

Di tengah dinamika modernisasi dan perubahan sosial, tradisi ini menjadi pengingat penting bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan kelestarian alam. Penduduk Manokwari mengajarkan kita bahwa menjaga hubungan yang seimbang dengan alam adalah kunci keberlangsungan hidup dan kesejahteraan bersama.
Kearifan lokal ini juga memperlihatkan bagaimana budaya Manokwari tidak kehilangan jati diri meskipun menghadapi tantangan zaman. Tradisi pemanggilan ikan bukan hanya menjadi warisan budaya yang berharga, tetapi juga inspirasi bagi generasi muda untuk tetap menghargai dan melestarikan kebiasaan leluhur.
Dengan demikian, tradisi pemanggilan ikan bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan kekuatan budaya yang hidup dan relevan untuk masa depan Manokwari dan dunia.
“Tradisi pemanggilan ikan di Manokwari adalah contoh nyata dari bagaimana kearifan lokal berperan dalam menjaga keseimbangan alam dan budaya,” kata Dr. Rini Wenda, antropolog dari Universitas Papua Barat.
Menurut Pak Lukas Awiman Barayap, sang pemanggil ikan, “Tradisi ini bukan ilmu gaib, melainkan bentuk penghormatan kami kepada laut dan ikan sebagai sumber kehidupan. Kami ingin menjaga agar laut tetap memberikan berkah secara berkelanjutan.”
Pernyataan ini menegaskan pentingnya pelestarian tradisi unik ini sebagai bagian integral dari budaya Manokwari yang patut dijaga.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Untuk tulisan lain seputar seni budaya indonesia dan kehidupan kreatif, kamu bisa menjelajah dfranceinc.com, rumah dari blog d’art life.
Artikel Menarik Lainnya.. Karapan Sapi Tradisi Perlombaan Sapi Madura