Sapardi Djoko Damono Penyair Indonesia

“aku ingin mencintaimu dengan sederhana…”
Bait itu sudah seperti milik semua orang. Diucapkan dalam sunyi, disisipkan di caption media sosial, dibisikkan dalam surat cinta, atau sekadar dikenang diam-diam oleh mereka yang pernah jatuh hati. Tapi tidak semua tahu, kalimat itu berasal dari seorang lelaki yang tidak berisik, tidak gemar tampil, dan justru karena itu, puisinya menggema lebih lama: Sapardi Djoko Damono.

Ia bukan penyair yang suka bicara keras. Ia bukan sastrawan yang hidup di atas panggung. Tapi dalam diamnya, ia mengubah wajah sastra modern Indonesia. Karya-karyanya ringan, pendek, tapi dalam. Ia bicara tentang cinta, kehilangan, waktu, dan hujan tanpa metafora yang rumit, tanpa kerumitan yang dibuat-buat. Justru di situlah letak kekuatannya.

Sebagai penyair Indonesia modern, Sapardi memperkenalkan cara baru dalam menulis puisi: jujur, lembut, dan terasa dekat. Ia mempopulerkan gaya yang sederhana tapi menusuk, menghindari diksi berat tapi tetap menggugah. Dan dalam sejarah panjang puisi cinta sastra Indonesia, namanya adalah tiang yang tak tergantikan.

Kita akan coba telusuri lagi perjalanan hidup dan karya-karya Sapardi Djoko Damono. Bukan cuma nostalgia, tapi biar kita semua bisa ngeh lagi kalau puisi itu bisa personal banget, dan seorang penyair itu bisa “ngomong” paling lantang meski cuma pakai kata-kata yang simple.

Kata-Kata yang Menemani Hujan dan Ingatan

Bukan Puisi yang Berteriak

Sapardi Djoko Damono tidak menulis untuk menggelegar. Ia menulis untuk menyentuh. Dalam dunia sastra yang kerap diramaikan dengan simbol, kritik sosial, dan amarah, puisi-puisinya justru datang seperti bisikan. Tidak memaksa dipahami, tapi mudah dirasakan. Kalimat-kalimatnya mengalir seperti hujan yang jatuh di jendela—tenang, tapi menusuk pelan ke dalam.

Sebagai penyair Indonesia modern, Sapardi dikenal karena kemampuannya meramu bahasa sehari-hari menjadi peristiwa batin yang dalam. Ia tak takut menulis dengan kata yang sederhana, karena ia percaya bahwa kekuatan puisi bukan pada kerumitan, melainkan pada kejujuran rasa.

Puisi-puisinya tidak memberi petunjuk, tapi mengajak pembaca menemukan makna sendiri. Dan dalam keheningan itu, ia justru lebih dekat dari penyair mana pun yang berteriak.

Cinta yang Tak Perlu Diteriakkan

Di antara banyak tema yang ia tulis, cinta menjadi wajah paling dikenal dari karya Sapardi. Tapi bukan cinta yang meledak-ledak. Cintanya seperti udara: tidak terlihat, tapi terasa; tidak keras, tapi tetap hidup. Inilah yang menjadikan puisi cinta sastra Indonesia berubah setelah Sapardi muncul—ia memperkenalkan bahwa mencintai bisa dilakukan tanpa perlu banyak kata.

Salah satu puisinya yang paling terkenal, “Aku Ingin”, telah menjadi semacam nadi diam-diam bagi generasi yang lahir jauh setelah puisinya ditulis. Hanya dua bait, tapi mampu menampung perasaan ratusan ribu orang yang tak pandai mengungkapkan cinta.

Begitulah Sapardi menulis: ia tahu bahwa kesunyian kadang bisa lebih berbicara dibanding keramaian. Dan puisi adalah cara terbaiknya untuk menyampaikan hal-hal yang tak bisa dijelaskan secara langsung.

Jejak Karya yang Tak Terhapus Waktu

Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Dari kecil ia sudah dekat dengan sastra, tapi tak banyak yang menyangka bahwa namanya akan menjadi pilar penting dalam sastra modern Indonesia. Ia menulis, mengajar, meneliti, dan tetap produktif hingga usia lanjut.

Kumpulan puisi pertamanya, Duka-Mu Abadi (1969), sudah menunjukkan arah estetikanya: lirih, puitis, dan personal. Setelah itu menyusul Mata Pisau, Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, dan banyak lagi yang semuanya tak pernah kehilangan sentuhan khasnya.

Dalam sejarah panjang penyair Indonesia modern, Sapardi adalah figur yang tidak hanya menulis untuk zamannya. Puisinya melintasi usia, generasi, bahkan medium. Banyak puisinya kini hadir dalam bentuk lagu, kutipan populer, dan karya visual.

Dan meskipun kini ia telah tiada, suara yang ia tinggalkan dalam puisi-puisinya tetap hidup—sunyi yang tidak pernah benar-benar diam.

Sapardi dalam Budaya Pop: Dari Buku ke Musik, Dari Kutipan ke Kehidupan

Satu hal yang menarik dari Sapardi Djoko Damono adalah bagaimana puisinya hidup di luar buku. Beberapa musisi seperti Ari Reda, Ananda Sukarlan, dan Dwiki Dharmawan mengubah puisinya menjadi lagu yang menyentuh hati. Dan dari situ, lahirlah generasi pembaca baru yang mengenal Sapardi lewat nada.

Tak sedikit pula karyanya dikutip di media sosial, ditulis ulang di kartu undangan, atau bahkan dipakai dalam film dan sinetron. Dalam dunia puisi cinta sastra Indonesia, Sapardi adalah nama yang tidak bisa dipisahkan dari perasaan banyak orang.

Mungkin karena itu, ia tidak pernah merasa perlu menjadi megah. Puisinya sudah cukup berbicara. Dan justru karena itu, mereka tak pernah pudar.

Menulis Sebagai Cara untuk Hidup

Bagi Sapardi, menulis bukan profesi. Ia pernah bilang, “Saya menulis karena saya tidak tahu bagaimana caranya tidak menulis.” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi sebenarnya penuh makna. Menulis adalah denyut hidup baginya, bukan sekadar aktivitas produktif.

Sebagai dosen dan akademisi, ia membagikan ilmunya kepada ribuan mahasiswa di Universitas Indonesia. Tapi sebagai penyair, ia membagikan perasaannya kepada siapa pun yang bersedia membaca—tanpa batas ruang dan waktu.

Puisi yang Tidak Pernah Pergi

Ada yang bilang, Sapardi Djoko Damono menulis dengan jari yang pelan tapi hati yang dalam. Kalimat-kalimatnya tidak perlu diberi tekanan, karena justru di situlah kekuatannya: ia menenangkan. Ia tidak menawarkan jawaban, tapi membuat pembaca menemukan pertanyaan yang lebih penting.

Di zaman yang serba cepat dan ramai ini, puisi-puisi Sapardi seperti ruang kosong yang kita perlukan untuk bernapas. Di tengah kebisingan media sosial, tumpukan notifikasi, dan percakapan yang cepat lupa arah, puisinya tetap berdiri. Tidak menawarkan sensasi, tapi justru memberi ketenangan.

Itulah mengapa Sapardi tidak hanya dikenang sebagai penyair. Ia adalah pelindung ruang sunyi. Ia memberi kita alasan untuk kembali menyukai keheningan. Dalam sejarah puisi cinta sastra Indonesia, hampir tidak ada yang menulis tentang rindu, janji, dan kesetiaan sehalus itu—tanpa kehilangan maknanya.

Ia tidak menciptakan ledakan, tapi ia menyusup. Lembut, pelan, tapi tinggal lama. Dan meskipun tubuhnya telah kembali ke tanah, kata-katanya masih tinggal. Ia tidak hanya menulis puisi, ia menjadi puisi itu sendiri—yang akan terus ditemukan ulang oleh siapa pun yang butuh kata-kata tanpa bising.

Suara yang Tetap Didengar

“Sapardi itu menulis dengan ketulusan. Puisinya tidak berusaha memukau ia hanya ingin hadir, dan karena itu justru sangat kuat,” ujar Goenawan Mohamad, penyair dan budayawan senior Indonesia.

Bagi banyak penulis dan pembaca, Sapardi Djoko Damono adalah guru tanpa kelas. Ia tidak menggurui, tapi memberi jalan. Puisinya menjadi penanda bahwa sastra tidak harus rumit untuk dalam, tidak harus ribut untuk terasa.

“Sapardi mengajarkan kita bahwa menulis itu bukan soal ingin terlihat, tapi soal ingin menyampaikan. Dan ia berhasil menyampaikan lebih banyak daripada siapa pun di zamannya,” kata Aan Mansyur, penyair generasi baru yang banyak terinspirasi karyanya.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Untuk tulisan lain seputar seni budaya indonesia dan kehidupan kreatif, kamu bisa menjelajah dfranceinc.com, rumah dari blog d’art life.