Di antara denting gamelan yang halus dan tabuhan kendang yang ritmis, nama Rahayu Supanggah selalu muncul sebagai sosok yang tak bisa dipisahkan dari perkembangan musik tradisional Indonesia. Ia bukan hanya seorang komposer, tapi juga penjaga, penjelajah, dan penyambung napas antara warisan lama dan semangat zaman baru.
Rahayu Supanggah tidak pernah memosisikan dirinya sebagai pelestari yang kaku. Justru sebaliknya—ia bermain-main dengan bentuk, mengeksplorasi irama, dan memadukan unsur-unsur musik daerah dengan pendekatan baru. Itulah yang membuatnya dikenal luas sebagai komponis musik tradisional yang tidak hanya menjaga, tetapi juga menantang batas-batas.
Melalui karyanya, ia memperkenalkan gamelan kepada audiens yang mungkin tak pernah menyangka bahwa alat musik ini bisa terdengar megah di teater Eropa, film dokumenter, hingga panggung kontemporer. Di tangannya, gamelan kontemporer Indonesia bukan sekadar upaya pencampuran bunyi, tapi bahasa budaya yang berbicara ke segala arah.
Dari desa ke panggung global, dari bunyi-bunyian ritual sampai ke eksperimen musik yang berani, Rahayu Supanggah telah menunjukkan pada kita. Tak banyak seniman yang mampu mengubah cara kita mendengarkan musik tradisi, tapi justru membuat kita merasa begitu dekat dan “pulang” dengannya.
Nada yang Tumbuh dari Akar, Menjulang ke Langit

Dari Solo ke Dunia
Rahayu Supanggah lahir di Boyolali pada 1949, sebuah daerah kecil yang tidak jauh dari pusat budaya Jawa: Solo. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan bunyi gamelan, bukan dari panggung megah, tapi dari langgar, hajatan, dan latihan karawitan yang menyelinap ke telinga anak-anak desa. Namun, dari suara-suara akrab itu, tumbuh sebuah semangat yang kelak membawanya menapaki panggung internasional.
Sebagai komponis musik tradisional, Rahayu tidak pernah merasa cukup hanya dengan memainkan ulang yang sudah ada. Ia menjadikan tradisi sebagai bahan dasar, bukan batas. Ia percaya bahwa bunyi daerah punya kekuatan untuk bicara ke mana saja—asal cara bicaranya disesuaikan, bukan dikorbankan.
Baca Juga : Wayang Timplong Kesenian Tradisional Nganjuk
Menyusun Bunyi, Menyusun Makna
Rahayu Supanggah adalah seniman yang tidak hanya bermain nada, tetapi juga meracik makna. Karyanya tidak pernah hadir sebagai sekadar pertunjukan, melainkan sebagai pengalaman. Ia menulis untuk tubuh dan ruang, untuk waktu dan konteks. Musiknya tidak bisa dilepaskan dari pertunjukan tari, teater, bahkan film.
Salah satu karya terkenalnya adalah Opera Jawa (2006), sebuah film musikal yang disutradarai Garin Nugroho. Dalam proyek ini, Rahayu menyusun komposisi gamelan yang begitu kuat dan dramatis—menjadi nyawa bagi narasi tanpa dialog. Inilah bentuk gamelan kontemporer Indonesia yang tidak hanya bereksperimen, tapi juga bicara dalam bahasa universal.
Ia juga terlibat dalam banyak kolaborasi internasional, termasuk dengan sutradara teater asal Prancis, Ariane Mnouchkine, dan penata tari Eiko & Koma dari Jepang. Dalam setiap pertemuan budaya itu, Rahayu tidak datang untuk menunjukkan eksotisme gamelan, tetapi untuk berdialog. Ia percaya bahwa musik tradisi punya posisi setara dalam percakapan global—asal kita tidak malu membawanya secara utuh.
Tradisi yang Hidup, Bukan Dibekukan
Sebagai komponis musik tradisional, Rahayu Supanggah punya satu keyakinan penting: tradisi bukan benda mati. Tradisi adalah sesuatu yang hidup—bernapas, bergerak, dan berubah bersama waktu. Dan tugas seniman bukan sekadar melestarikan, tapi menghidupkan.
Itulah sebabnya ia banyak menciptakan karya baru berbasis gamelan, tapi dengan struktur yang tak selalu mengikuti pola klasik. Ia menggali bunyi-bunyi lama, lalu merangkainya dalam bentuk yang belum pernah ada. Gamelan bisa terdengar lirih dan magis, bisa pula meledak seperti orkestra, tergantung bagaimana ia diposisikan.
Dalam beberapa karyanya, Rahayu bahkan memasukkan unsur elektronik, suara lingkungan, dan improvisasi sebagai bagian dari eksplorasi bunyi. Tapi ia tidak pernah kehilangan rasa. Setiap karya tetap terasa “pulang”, meski bentuknya menjelajah ke mana-mana.
Gamelan sebagai Ruang Percakapan
Salah satu kontribusi terbesar Rahayu Supanggah adalah caranya memosisikan gamelan sebagai ruang terbuka, bukan ruang eksklusif. Ia menolak gagasan bahwa gamelan hanya untuk orang Jawa, atau hanya bisa dimainkan dalam kerangka klasik. Bagi Rahayu, gamelan adalah alat tutur, dan siapa pun bisa bicara lewat itu—asal dengan hormat.
Ia banyak terlibat dalam pendidikan musik, mengajar di berbagai kampus dan workshop lintas negara. Ia ingin gamelan dipahami bukan sekadar dari teknik, tapi juga dari filosofinya. Gamelan bukan hanya bunyi. Ia adalah sistem berpikir, sistem hidup, sistem mendengar.
Dan inilah yang membuat gamelan kontemporer Indonesia menjadi relevan di dunia internasional. Karena di tangan Rahayu, gamelan tidak menjadi museum. Ia menjadi medium—yang bisa bicara tentang apa saja, dengan siapa saja.
Dari Nada ke Warisan
Rahayu Supanggah meninggal dunia pada 2020. Tapi seperti musik yang baik, gaung karyanya tidak berhenti di saat hidupnya selesai. Ia meninggalkan jejak kuat dalam tubuh musik tradisional Indonesia: sebagai penjelajah, penyambung zaman, dan pencipta bentuk-bentuk baru dari akar yang sama.
Dalam dunia seni yang sering terbagi antara tradisi dan modernitas, Rahayu hadir sebagai penghubung. Ia tidak memilih satu sisi. Ia justru menunjukkan bahwa keduanya bisa berdialog, bahkan saling menguatkan.
Dan mungkin, inilah warisan terbesarnya: keberanian untuk tetap berpijak di bumi sambil mendengarkan langit. Karena di antara dua dunia itu, Rahayu Supanggah menempatkan gamelan—dan membuatnya berbicara lagi, kepada kita semua.
Mendengar Ulang Tradisi Lewat Bunyi Baru

Kita hidup di era yang cepat, dengan musik yang berpindah dalam hitungan detik. Tapi justru di tengah kecepatan itu, karya-karya Rahayu Supanggah mengajak kita untuk pelan, mendengar, dan memahami—bukan hanya bunyi, tapi juga asal usulnya.
Sebagai komponis musik tradisional, Rahayu tidak pernah memaksakan gamelan untuk menjadi modern. Ia hanya membukakan pintu, agar bunyi itu bisa berdialog dengan zaman. Dan menariknya, semakin jauh ia membawa gamelan, semakin terasa bahwa akar tradisinya tidak pernah benar-benar hilang.
Gamelan kontemporer Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari perannya. Ia bukan hanya memperluas ranah eksplorasi, tapi juga memberi alasan baru untuk kembali mempelajari bunyi lokal kita sendiri. Anak-anak muda yang mungkin awalnya merasa gamelan itu “jadul”, justru bisa melihatnya sebagai alat ekspresi yang luas dan fleksibel, berkat contoh yang ditinggalkan Rahayu.
Lebih dari segalanya, Rahayu Supanggah mengingatkan kita bahwa musik bisa menjadi jembatan antara yang lama dan yang baru. Antara akar dan arah. Dan bahwa mendengarkan adalah tindakan budaya yang paling radikal—terutama ketika yang kita dengar adalah suara kita sendiri.
Suara tentang Sang Penjaga Irama

“Rahayu Supanggah bukan hanya komposer, ia adalah pengembara bunyi yang mampu membawa tradisi ke ruang-ruang yang tak terbayangkan,” ujar Garin Nugroho, sutradara film Opera Jawa, yang bekerja sama erat dengannya.
Dalam banyak kesempatan, Garin menyebut Rahayu sebagai “penyusun dunia”—karena musiknya tidak hanya mengiringi, tapi menghidupkan ruang dan narasi. Gamelan di tangan Rahayu menjadi aktor, bukan sekadar latar.
Senada dengan itu, Butet Kartaredjasa pernah menyatakan, “Mas Supanggah adalah penghubung lintas dunia: desa dan kota, Jawa dan dunia, tradisi dan eksperimen.” Komentar itu mencerminkan betapa luas jangkauan pengaruhnya—sekaligus betapa kuat ia menjaga kedekatannya dengan akar.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Untuk tulisan lain seputar seni budaya indonesia dan kehidupan kreatif, kamu bisa menjelajah dfranceinc.com, rumah dari blog d’art life.