Cerita Rakyat Gorontalo! – Indonesia kaya akan objek wisata indah yang selalu menyimpan cerita legendaris di baliknya. Provinsi Gorontalo, misalnya, punya kisah rakyat yang melekat erat dengan sebuah batu besar di pesisir Pantai Pohe, Kecamatan Hulonthalangi.
Batu itu dikenal dengan nama Botu Liodu Lei Lahilote, yang secara harfiah berarti “batu telapak kaki Lahilote”. Konon, batu ini adalah warisan dari kisah cinta pilu antara seorang pemuda bernama Lahilote dan seorang bidadari dari Putri Kayangan.
Siapa sebenarnya Lahilote dan apa misteri yang tersembunyi di balik batu besar tersebut? Kisah ini bukan hanya cerita cinta biasa, tapi juga memuat nilai kearifan lokal dan budaya Gorontalo yang kaya akan mitos dan legenda.
Perjuangan Lahilote dan Putri Kayangan yang Berliku
Di tanah U Duluo lo’u Limo lo Pohite, Gorontalo, hiduplah seorang pemuda bernama Piilu de Lahilote, yang dikenal hanya sebagai Lahilote oleh penduduk sekitar. Ia dikenal sebagai pemuda yang tampan dan gagah, namun hidupnya sebatang kara. Rutinitasnya sehari-hari adalah menjelajahi hutan dan berburu hewan liar untuk bertahan hidup.

Suatu hari, saat lelah, Lahilote duduk di tepi sebuah telaga yang jernih. Tiba-tiba, ia mendengar suara tawa riang dari tujuh gadis yang sedang mandi. Rasa penasaran membuatnya mengintip dari balik pepohonan. Betapa terkejutnya Lahilote saat melihat bahwa tujuh gadis itu bukan manusia biasa, melainkan para Putri Io Owabu—atau yang dikenal sebagai Putri Kayangan dalam bahasa Gorontalo—yang turun dari langit.
Mereka meninggalkan selendang bersayap mereka di tepi telaga, sebuah benda magis yang memungkinkan mereka terbang kembali ke Kayangan. Dalam sebuah langkah nekat, Lahilote mencuri selendang milik Boilode Hulawa, sang bidadari termuda. Karena tanpa selendang itu Boilode tidak bisa kembali ke langit, ia terpaksa tinggal di Bumi dan tinggal bersama Lahilote.
Awalnya, Boilode merasa cemas dan terasing, namun seiring waktu, ia menerima takdirnya dan bahkan menikah dengan Lahilote. Dalam kesehariannya, Boilode menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia Bumi, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti menumbuk padi dan memasak nasi. Namun, sebagai bidadari dengan kesaktian, Boilode menggunakan kekuatan magisnya untuk menghemat tenaga, dengan hanya menanak satu butir beras yang kemudian menjadi piring nasi penuh.
Lahilote yang polos dan pekerja keras mulai curiga karena persediaan padi di lumbung mereka tak berkurang meskipun mereka makan setiap hari. Suatu hari, ia menemukan rahasia Boilode saat membuka periuk yang hanya berisi satu butir beras. Ketika Boilode mengakui kesaktiannya, ia kehilangan kekuatan magis tersebut dan harus menggunakan seluruh padi yang ada untuk memasak nasi secara normal.
Rindu akan kampung halamannya di Kayangan mendorong Boilode untuk kembali. Ia berhasil menyembuhkan selendang bersayapnya yang rusak dan berjanji kepada Lahilote untuk kembali. Namun, perjalanan kembali ke Kayangan penuh kesedihan karena perpisahan yang tak terelakkan.
Lahilote pun berusaha menyusul Boilode ke Kayangan dengan bantuan pohon rotan sakti yang bernama hutia mala. Namun, perjalanan itu bukan tanpa ujian; Lahilote harus memenuhi syarat berat seperti menebang pohon besar dan membawa kayu tanpa daun, yang semuanya berhasil ia penuhi dengan bantuan makhluk gaib.
Setibanya di Kayangan, perjumpaan mereka penuh dengan rintangan dan ujian kepercayaan. Boilode memberikan syarat-syarat sulit yang harus dipenuhi agar mereka bisa bersama lagi. Meski berhasil melewati semua ujian, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama karena aturan di Kayangan yang melarang adanya uban sebagai tanda ketuaan.
Akhirnya, Boilode mencoba membawa Lahilote kembali ke Bumi dengan menggenggam rambutnya yang merupakan satu-satunya ikatan magis mereka. Namun, usaha ini gagal tragis ketika pegangan itu terlepas dan Lahilote jatuh terbelah menjadi dua bagian. Bagian tubuhnya yang jatuh di Pantai Pohe meninggalkan jejak telapak kaki yang dikenal sebagai Botu Liodu Lei Lahilote hingga kini.
Cerita Rakyat Gorontalo tentang Lahilote dan Putri Kayangan
Cerita rakyat Gorontalo tentang Lahilote dan Putri Kayangan bukan sekadar kisah cinta tragis yang mengharu biru, tetapi juga menyimpan pesan-pesan moral dan kearifan lokal yang berharga. Melalui kisah ini, kita diingatkan bahwa cinta dan mimpi besar tidak bisa diraih dengan cara yang salah, seperti pencurian dan tipu daya.

Lahilote yang mencuri selendang bidadari sebagai jalan untuk memiliki Boilode mengajarkan kita bahwa tindakan yang didasari oleh niat tidak jujur pasti berujung pada kehilangan dan kesedihan. Sementara itu, keteguhan Boilode yang tetap mematuhi aturan di Kayangan sekaligus berusaha keras untuk kembali kepada suaminya menunjukkan nilai kesetiaan dan keikhlasan.
Cerita ini juga merefleksikan hubungan manusia dengan alam dan dunia spiritual yang kuat dalam budaya Gorontalo. Batu Botu Liodu Lei Lahilote sebagai jejak nyata dari kisah ini menjadi simbol keberadaan mitos dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ini menunjukkan bagaimana legenda dan alam saling terkait erat, memperkaya warisan budaya Gorontalo.
Lebih jauh, kisah ini menegaskan pentingnya menjaga kejujuran, kesabaran, dan usaha yang benar dalam meraih impian. Sebuah warisan budaya yang tak hanya menghibur, tetapi juga mendidik dan menginspirasi generasi masa kini dan mendatang.
Pelestari Cerita Rakyat

“Cerita Lahilote dan Putri Kayangan adalah contoh bagaimana masyarakat Gorontalo memandang dunia dengan penuh harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas,” ujar Dr. Hasan Basri, ahli budaya Gorontalo.
Menurut Ibu Siti Rahmawati, pendongeng dan pelestari cerita rakyat, “Legenda ini bukan sekadar dongeng, melainkan pelajaran hidup yang mengajarkan nilai kejujuran, kesetiaan, dan kehormatan yang tinggi.”
Kata-kata mereka menegaskan bahwa cerita rakyat Gorontalo tetap relevan sebagai warisan budaya yang kaya nilai moral dan kearifan lokal.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Untuk tulisan lain seputar seni budaya indonesia dan kehidupan kreatif, kamu bisa menjelajah dfranceinc.com, rumah dari blog d’art life.