Benyamin Sueb bukan sekadar nama di halaman sejarah hiburan Indonesia. Ia adalah sosok yang hidup di kepala banyak orang dengan kenangan yang berbeda-beda. Bagi sebagian orang, Benyamin adalah penyanyi lawas dengan gaya nyentrik dan lirik jenaka. Bagi lainnya, ia adalah aktor komedi yang selalu berhasil membuat gelak tawa meledak, bahkan ketika dunia sedang berat-beratnya.
Tapi tak berhenti di situ. Ada yang mengenalnya sebagai sutradara dan produser film, ada yang ingat ia pernah nyetir taksi, ada pula yang mengenalnya sebagai penyiar radio. Bahkan, sebagian orang menyebutnya dengan satu kalimat sederhana: seniman Betawi legendaris. Dan semua itu benar. Karena Benyamin Sueb adalah itu semua dan lebih.
Lalu bagaimana caranya satu orang bisa menjadi begitu banyak hal dalam satu waktu? Benny Pandawa Benyamin, putra sulungnya, pernah menjawab pertanyaan itu dengan tenang, “Babe itu konsisten dengan ketidak-konsistenan. Dan dia menikmati itu.” Seolah hidup adalah panggung luas, dan Benyamin tak pernah takut pindah peran selama itu membuatnya bisa terus bercerita.
Itulah mengapa dalam sejarah musik Indonesia, nama Benyamin Sueb bukan sekadar pelengkap. Ia adalah warna yang mewakili kehidupan jalanan Jakarta kadang keras, kadang lucu, tapi selalu jujur. Dan dalam artikel ini, kita akan menyusuri jejak-jejak itu. Karena suara Benyamin bukan cuma terdengar, tapi terasa di hati siapa pun yang pernah tinggal di kota ini.
Lagu-Lagu yang Bikin Ketawa, Tapi Ngena

Bicara soal Benyamin Sueb, tak bisa lepas dari musik. Suaranya serak-serak nakal, gaya nyanyinya seperti ngobrol di warung kopi, dan lirik-liriknya jujur saja kadang lebih tajam dari berita utama. Ia tak pernah merasa perlu jadi penyanyi dengan teknik sempurna. Tapi yang mendengar, selalu merasa dekat.
Dari “Biang Kerok”, “Tukang Solder”, “Ampunan”, sampai “Nonton Bioskop”, lagu-lagu Benyamin adalah cerita rakyat urban yang dikemas dalam nada. Ia bukan hanya menciptakan lagu, tapi juga menciptakan suasana – suasana Jakarta, suasana kampung, suasana hati orang-orang yang nggak punya waktu buat puitis tapi tetap butuh hiburan.
Di tengah peta sejarah musik Indonesia yang dihuni oleh nama-nama besar, Benyamin punya jalur sendiri. Ia tak mencoba menyesuaikan diri dengan tren. Justru tren yang harus melirik dia. Lagu-lagunya mencampur dangdut, keroncong, pop, dan humor. Kadang absurd, tapi seringkali menyentuh karena memang dari sananya, Benyamin selalu menulis untuk orang yang hidupnya nyata.
Di Film, Ia Bukan Sekadar Aktor
Masih banyak orang mengenal Benyamin bukan dari radio, tapi dari layar lebar. Film-film seperti “Benyamin Biang Kerok”, “Benyamin Jatuh Cinta”, hingga “Benyamin Koboi Ngungsi” bukan hanya hiburan mereka adalah arsip sosial. Dalam setiap karakternya, Benyamin membawa nilai: tentang rakyat kecil, tentang kejujuran, tentang bagaimana tetap jadi diri sendiri walau dunia makin aneh.
Ia tidak pernah terlihat “berakting” secara berlebihan. Justru karena tampilannya natural, itulah yang membuatnya selalu memikat. Dia bisa menjadi supir taksi, penjual roti, seniman kampung, bahkan tokoh fantasi tapi tetap terasa nyata. Seolah ia hanya sedang memainkan versi lain dari dirinya sendiri.
Dan memang begitulah ia ingin dikenang: bukan sebagai bintang film yang glamour, tapi sebagai orang biasa yang kebetulan bisa bikin orang ketawa dan mikir di saat yang sama.
Kritik Sosial yang Disampaikan dengan Tawa

Mungkin tidak semua orang sadar, bahwa di balik candaan Benyamin ada sindiran yang dalam. Ia menyentil birokrasi lewat lagu, menggambarkan ketimpangan sosial lewat dialog, dan menyuarakan keresahan rakyat lewat tokoh-tokoh konyol. Tapi semua itu ia bungkus dengan cara yang tidak menggurui. Justru karena itulah pesannya nyampe.
Sebagai seniman Betawi legendaris, Benyamin membawa semangat rakyat ke ruang-ruang publik yang kadang terlalu steril. Ia membuat budaya Betawi tetap hidup di tengah kota yang berubah cepat. Ia adalah perlawanan kultural yang tidak pakai spanduk, tapi cukup dengan celotehan dan lagu tiga menit.
Lagu-lagunya mengajak kita tertawa, tapi juga merenung. Karena seperti yang sering terjadi, kebenaran kadang paling enak disampaikan lewat guyonan.
Lahirnya Bens Radio
Tak cukup dengan lagu dan film, Benyamin juga merintis media sendiri: Bens Radio. Tujuannya sederhana membuat ruang bagi budaya Betawi untuk tetap terdengar. Ia sadar, budaya bisa hilang bukan karena dibenci, tapi karena dilupakan. Maka ia ciptakan gelombang sendiri, tempat musik Betawi, bahasa sehari-hari, dan cerita rakyat tetap punya tempat di udara.
Di masa kini, ketika stasiun radio banyak beralih ke format generik, Bens Radio tetap setia pada jalurnya. Menyuarakan obrolan warung kopi, menayangkan musik dari seniman lokal, dan tetap memutar lagu-lagu Benyamin Sueb yang hingga kini tak kehilangan pendengarnya.
Ini bukan sekadar bagian dari sejarah musik Indonesia. Ini adalah bentuk nyata dari warisan budaya yang masih hidup dan didengarkan.
Di Rumah, Ia Tetap “Babe”
Apa yang membuat Benyamin istimewa bukan hanya karya-karyanya, tapi juga caranya hidup. Di luar panggung, ia dikenal sebagai ayah yang sederhana dan hangat. Ia bisa menyetir sendiri, belanja sendiri, dan ngobrol dengan siapa saja. Ia tidak pernah menjauh dari rakyat, karena memang ia bagian dari mereka.
Anak-anaknya mengenang ia sebagai sosok yang apa adanya. Tidak pernah terlalu sibuk untuk keluarga, tidak pernah merasa lebih dari orang lain. Ia adalah contoh bagaimana popularitas tidak harus merubah karakter. Justru dari kedekatannya dengan kehidupan sehari-hari, lahir karya-karya yang paling kuat.
Karena Benyamin tidak menciptakan karakter. Ia adalah karakter itu sendiri.
Masihkah Suara Itu Kita Dengar Hari Ini?

Zaman berubah. Musik berganti. Kota makin sibuk. Tapi entah kenapa, nama Benyamin Sueb tetap saja terdengar akrab. Entah dari lagu yang diputar di radio pagi hari, dari potongan video jadul di medsos, atau dari obrolan orang-orang tua yang masih suka menyebut namanya saat cerita tentang Jakarta yang dulu.
Di tengah gempuran musik elektronik dan konten cepat saji, karya-karya Benyamin terasa seperti jeda. Lagu-lagunya tetap bisa bikin senyum, sekaligus bikin mikir. Ia tak mencoba menyenangkan semua orang, tapi justru karena itu, banyak yang merasa dekat. Itulah keistimewaan seorang seniman Betawi legendaris tak berusaha tampil keren, tapi justru keren karena kejujurannya.
Generasi muda hari ini mungkin tak semua mengenalnya secara utuh. Tapi warisan itu terus mengalir. Filmnya dibuat ulang, lagunya dinyanyikan kembali, dan gaya khasnya muncul di panggung stand-up atau festival budaya. Dalam sejarah musik Indonesia, ia tak pernah benar-benar jadi masa lalu. Ia terus hadir dalam berbagai bentuk.
Dan mungkin, itulah kenangan abadi yang ditinggalkan Benyamin. Ia tak hanya menyumbang karya, tapi menyentuh cara orang hidup dan tertawa. Ia mengingatkan kita bahwa seni tidak harus rumit, bahwa kritik bisa disampaikan lewat tawa, dan bahwa budaya bisa dijaga tanpa harus terlalu serius.
Suaranya masih terdengar. Tak harus keras, tapi tetap jelas. Seperti suara teman lama yang kita temui lagi di tengah keramaian kota.
“Babe itu jujur. Kalau manggung, dia nggak pernah pakai topeng. Apa yang dia rasain, itu yang dia keluarin. Makanya orang nggak pernah bosan lihat dia,” ujar Rano Karno, aktor dan sahabat dekat Benyamin Sueb.
Pernyataan ini menggambarkan betapa kuatnya karakter Benyamin sebagai seniman yang tidak dibuat-buat. Di tengah dunia hiburan yang kadang penuh pencitraan, Benyamin justru tampil dengan gaya sendiri apa adanya, dan tetap memikat.
Hal senada disampaikan oleh Iman Tangkilisan, peneliti budaya Betawi, “Benyamin Sueb adalah dokumentator sosial. Ia mencatat Jakarta lewat lagu, film, dan lawak. Lewat dia, kita tahu bahwa budaya tidak selalu datang dari buku kadang datang dari suara rakyat yang jujur.”
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Untuk tulisan lain seputar seni budaya indonesia dan kehidupan kreatif, kamu bisa menjelajah dfranceinc.com, rumah dari blog d’art life.
Baca Juga : Kisah Perempuan Betawi Dalam Tarian