Gelung Ciwidey Tatanan Rambut Khas Perempuan Sunda

Gelung Ciwidey bukan sekadar tatanan rambut tradisional, melainkan simbol keanggunan dan kearifan lokal yang sarat makna dalam budaya Sunda. Berasal dari daerah Ciwidey di selatan Bandung, gelung ini menjadi ciri khas perempuan Sunda yang menghargai keselarasan dengan alam dan nilai-nilai luhur leluhur mereka.

Sebagai bagian dari budaya Sunda, gelung Ciwidey telah dikenal sejak zaman Kerajaan Sumedang dan menjadi pilihan tatanan rambut para bangsawan maupun rakyat biasa. Keunikan gelung ini terlihat pada bentuknya yang anggun, sederhana, dan sarat filosofi, menjadikannya bukan sekadar soal penampilan, tapi juga identitas budaya yang hidup.

Gelung Ciwidey sering dipakai dalam berbagai upacara adat dan acara penting, melambangkan kesederhanaan, ketegasan, dan sikap lantang dalam mengutarakan kebenaran—nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat Sunda yang mayoritas beragama Islam.

Pembuatan Gelung Ciwidey dalam Budaya Sunda

Gelung Ciwidey bukan sekadar tatanan rambut biasa, melainkan warisan budaya yang kaya makna dan filosofi dalam kehidupan perempuan Sunda. Bentuk sanggul ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Sunda. Gelung Ciwidey mencerminkan perpaduan antara keanggunan alami dengan ketegasan sikap, diwujudkan dalam desain sanggul yang menyerupai huruf Arab alif dan nun — atau dalam istilah Sunda disebut ‘alif pakait sareng nun’.

Huruf alif yang lurus melambangkan ketegasan dan prinsip konsistensi, sedangkan nun mati yang bertemu alif dalam pembacaan Al-Qur’an menggambarkan suara yang jelas dan tegas, tanpa samar atau mendengung. Hal ini memberi arti bahwa perempuan Sunda yang memakai gelung Ciwidey tidak hanya menampilkan keindahan secara fisik, tetapi juga mengusung sikap lantang dalam menyuarakan kebenaran dan menjalani kehidupan sesuai nilai luhur.

Secara teknis, pembuatan gelung Ciwidey adalah proses rumit dan memerlukan ketelatenan tinggi. Rambut dibagi menjadi dua bagian utama: bagian depan dan belakang. Bagian depan dibentuk menjadi jabing, yakni sanggul bulat yang dihasilkan dari sasak rambut yang rapi. Sementara itu, rambut bagian belakang diikat setinggi 5 hingga 7 jari dari batas pertumbuhan rambut (hairline), kemudian ditambah dengan cemara rambut sepanjang sekitar 90-100 cm, yang terbuat dari rambut asli atau bahan khusus, lalu dipilin dan disisir dengan cermat.

Setelah rambut terpilin, rambut diputar mengikuti garis rambut belakang kepala, lalu ditekan agar bagian atas sanggul terlihat mencuat dan menonjol. Sisa rambut yang belum terikat diselipkan rapi di balik sanggul untuk menjaga bentuk dan keindahan. Proses ini menciptakan gelung yang tidak hanya kokoh dan tahan lama, tetapi juga memancarkan aura anggun dan elegan khas perempuan Sunda.

Tak lengkap rasanya tanpa aksesoris cucuk gelung atau tusuk konde yang menambah sentuhan artistik pada gelung Ciwidey. Cucuk gelung ini biasanya dibuat dari berbagai bahan, mulai dari tanduk binatang, emas, hingga perak. Pilihan bahan tidak hanya soal estetika, tapi juga menjadi simbol status sosial pemakai. Golongan ningrat atau bangsawan lebih cenderung memilih cucuk gelung berbahan emas sebagai lambang kemewahan dan kehormatan, sementara masyarakat biasa menggunakan bahan yang lebih sederhana namun tetap indah.

Lebih dari sekadar tatanan rambut, gelung Ciwidey juga menjadi simbol kesederhanaan, keharmonisan dengan alam, dan kekuatan spiritual yang membentuk karakter perempuan Sunda. Tradisi ini membuktikan bahwa budaya Sunda menghargai keindahan alami sekaligus menginternalisasi nilai-nilai moral dan religius dalam kehidupan sehari-hari.

Kebanggaan Perempuan Sunda

Gelung Ciwidey bukan hanya sekadar gaya rambut tradisional, melainkan simbol kuat dari identitas dan kebanggaan perempuan Sunda. Melalui tatanan yang anggun dan penuh filosofi ini, perempuan Sunda mengekspresikan keindahan alami yang berpadu dengan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Di tengah arus modernisasi, gelung Ciwidey tetap bertahan dan menjadi pilihan dalam berbagai upacara adat serta perayaan budaya di Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Sunda sangat menghargai akar tradisi sekaligus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri.

Lebih dari itu, gelung ini mengajarkan kita pentingnya keseimbangan antara keindahan fisik dan kedalaman makna spiritual dalam sebuah tradisi. Perempuan Sunda yang memakai gelung Ciwidey menunjukkan bahwa keanggunan sejati datang dari keselarasan antara hati, pikiran, dan penampilan.

Melestarikan gelung Ciwidey berarti menjaga warisan budaya Sunda yang kaya akan nilai dan filosofi, sekaligus memperkuat rasa bangga dan cinta pada budaya sendiri. Tradisi ini menjadi pengikat generasi dan simbol keberlanjutan identitas Sunda di masa depan.

Gelung Ciwidey dan Budaya Sunda

“Gelung Ciwidey adalah lebih dari sekadar tatanan rambut; ia adalah manifestasi kearifan lokal dan spiritualitas yang telah lama melekat dalam budaya Sunda,” ungkap Dr. Dewi Kartika, antropolog budaya Jawa Barat.

Menurut Ibu Rina Suhendar, pemerhati budaya Sunda, “Melalui gelung ini, perempuan Sunda mengekspresikan identitas dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur. Gelung Ciwidey mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara tradisi dan modernitas.”

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa gelung Ciwidey bukan hanya simbol fisik, melainkan juga simbol jati diri dan kebanggaan budaya Sunda yang perlu terus dilestarikan.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Untuk tulisan lain seputar seni budaya indonesia dan kehidupan kreatif, kamu bisa menjelajah dfranceinc.com, rumah dari blog d’art life.

Artikel Menarik Lainnya : Kopi Bandung Kedai Legendaris Budaya